CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG MANIS

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG MANIS


CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG MANIS, Hasrat-Bispak42 Semuanya orang didalamnya harus bertarung dan berkorban agar tak terdepak, dan tidak seluruhnya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita kejadian hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang gak banyak yang mengenali nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, namun berarti gak sekedar itu. Denok  bermakna montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Periode kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu satunya Bapak serta Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Mulai sejak kecil saya diajari menari oleh Simbok, lantaran beliau sendiri waktu muda yaitu seorang penari, serta kerap ditanggap kalaupun ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti di saat satu hari saya serta Simbok temui Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak miliki banyak hutang karena edan judi, serta beliau tak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang bersusah-hati lantaran Bapak telah tidak ada, tetapi juga kebingungan sebab beberapa waktu sehabis Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah sebab rumah kami diambil agen judi yang berikan hutang terhadap Bapak. Kami gak mempunyai daerah tujuan, dan uang simpanan kami gak berapa. Simbok selanjutnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan. WAJIB 4D


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita bisa mencoba mencari uang, semoga dari sana mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya cuman alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, tidak diterima sebab dirasa pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak penting ijazah, rival begitu banyak. Selanjutnya sehabis cukuplah lama menyimak bermacam peluang yang ada, Simbok memastikan untuk menggunakan ketrampilan kami. Dengan modal kemeja serta perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awalilah kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota lagi bersiap ujian akhir SMA atau menempuh tahun mula kuliah, serta yang di kampung tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya mengawali jalani kehidupan baru, menawarkan keterampilan seni tari bersama Simbok. Awalannya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sekedar cari keramaian di mana kami dapat peroleh beberapa lembar rupiah buat bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mempelajari jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang pengen kami hibur dengan tarian kami. Rupanya gak mudah pula cari uang dengan secara semacam ini, paling-paling yang kami peroleh hanya buat makan kami berdua, satu atau 2x di hari itu. Serta gak di semua tempat kami dapat mendapatkan pirsawan yang mau bayar, kadangkala kami justru ditendang atau dihardik. Sesudah lumayan lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat selalu bisa pirsawan serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekelilingnya. Kami lantas sewa satu kamar sewa murah di dekat Pasar. Banyak orang-orang di Pasar, dari kelompok menengah ke bawah, haus kesenangan murah yang dapat membuat mereka ingat daerah masing-masing. Kedatangan kami dari sana selalu disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Walau seringkali helai-lembar itu diserahkan kepada kami kurang santun semisalnya dengan disembunyikan ke kemeja kami. Apa saya dan Simbok memanglah memikat? Entahlah ya. Saya sendiri tidak berasa elok. Jadi anak petani yang kerap main di luar semenjak kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok pun sejak dahulu terus membimbing dan memperingatkan saya untuk menjaga badan kendati secara simpel, jadi walau sawo masak, kulit saya selalu mulus dan tak jerawatan ditambah lagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya telah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Ditimbang-timbang betul pula sich bila dikatakan saya montok. Tak tahu mengapa, kendati rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap juga tubuh saya dapat saja ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya telah tumbuh, dan saat ini jadi subur gumebyur hingga saya terus takut dengan kemben saya tiap-tiap kali menari. Pantat saya  kuat lantaran dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang ngomong bahenol, saya sich matur nuwun saja kalaupun ada yang menganggapnya demikian. Terherannya, walaupun atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya bakal menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, kalaupun Simbok itu benar-benar elok. Sampai usia begitu juga beliau terus elok. cerpensex.com Apa lagi bila sudah gunakan sanggul serta dandan, wuihh. Semuanya orang nengok dan tidak saksikan apapun kembali. Saya sendiri terus terasa tidak baik lho bila tampil bersama Simbok. Ah, tetapi sedunia cuman saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Selainnya Simbok, beberapa orang yang umum lihat kami menari kok segalanya omong saya elok. Saya berpikir, itu sich pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu pertama didandani buat ngamen, saya protes, kok ribet sangat. Rambut perlu disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka harus dibedaki tebal-tebal, sampai lain warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang tidak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat jadi tebal. Bibir  diberikan gincu warna merah oke. Saya saat itu ngeluh,


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita harus buat suka yang melihat."


Lama-kelamaan saya biasa  memanfaatkan dandanan sesuai itu, jadi saya buat jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari kejadian penganten, nanti bila nikah betulan harus seperti apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, persis seperti kemben, kain batik, dan selendang. 


Tetapi betul-betul yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang ketahui. 2 bulan kami tinggal di dekat Pasar, malapetaka hadir kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kronis. Saya was-was, beberapa orang di sekeliling beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok tidak terselamatkan. Simbok wafat di rumah sakit selesai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sebetulnya semenjak ketabrak pun Simbok tidak ada keinginan, namun tidak tahu mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya hingga sepanjang hari. Hingga gak sampai hati saya menyaksikannya. Masa itu ada yang bisik-bisik, barangkali Simbok pasang susuk, maka itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara semacam itu. Tetapi apa itu betul atau gak, saya tidak ingin tahu, biarkan itu menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit serta penyemayaman, justru perlu berutang kemanapun. Saya tidak dapat melangsungkan acara beberapa macam buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana serta bertemu kembali dengan Bapak. Satu minggu lebih saya di kontrak saja karena begitu bersusah-hati. Kemungkinan setiap hari saya menangis, sendu ingat Simbok, pula kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, sebab uang telah habis dan saya pun harus menghadapi beberapa tukang tagih hutang yang tak mau tahu kepelikan saya . Sehingga, 1 minggu selepas Simbok dikebumikan, saya kembali bersiap untuk keluar, menari. Didepan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya agar tidak terlihat sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, sesuai keluar kamar saya justru berjumpa dengan ibu yang punyai sewaan. Sang ibu tidak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak punyai uang, jadi saya sekedar dapat ngomong maaf, dan sang ibu justru ngancam secara lembut. Gak apapun gak bayar, tuturnya, namun esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya rintangan untuk saya. Saya ingin upaya dahulu, kata saya, kelak dapat saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG MANIS

Apesnya, hari itu pasar cukup sepi, dan sehabis dua jam saya anyar bisa Rp5000 selepas menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala sarat dengan ingatan, bagaimana tekniknya biar kelak kalaupun pulang telah miliki cukup uang untuk bayar sewa. Belum beberapa hutang yang lain. Mendekati siang, saya lagi jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Serta di muka toko beras terbesar di Pasar, saya memandang Juragan sedang hitung segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya saat itu sekedar tahu beliau selaku ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua dibanding Simbok, barangkali umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya memberinya kami uang namun beliau tidak. Namun beliau pernah pinjamkan uang pada Simbok, dan Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri hampiri Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam dan berada di belakang. Tokonya sedang sepi, tidak ada konsumen. WAJIB 4D


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan menyaksikan saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Tetapi saya mesti ngomong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis buat ongkos penyemayaman Simbok… saat ini saya harus bayar sewa dua bulan…"


"Hah?" Juragan lihat saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya memohon kembali, "Saya telah ditagih, ini hari mesti ada, atau saya ditendang. Saya janji dapat balikkan selekas mungkin."


Eh, kok Juragan langsung kantongi segepok uang baru saja ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberi hutang. Kamu butuh uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya dongkol namun tidak berani menunjukkan; kayaknya Juragan tak mau pinjamkan uang. "Cuman ngerinya saya tidak dapat dapat uang ini hari buat membayar sewa. Kalaupun berjualan, saya tidak punyai apapun, perlu jual apa?"


Namun selanjutnya tatapan Juragan kok beralih jadi aneh… Beliau dekati saya dan merengkuh saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang omong kamu tidak punyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya ingin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, sampai pipi saya melekat dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan terus terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya memikirkan apa artinya itu.


"Bila kamu pengin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan kedepan," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya penting uang, namun apa perlu secara sebagai berikut? Tetapi kalaupun tidak, bagaimana kembali? Yang ada saya dapat ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama pula. Saya gak punyai alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga sampai tidak terdengaran. Kalaupun saja tidak ketutupan bedak, kemungkinan udah terlihat muka saya beralih merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga sampai tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan tidak punyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya terus melihati lantai, tak berani membawa kepala, namun terkadang saya ngintip ke sana-kemari lihat kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang memperlihatkan Juragan dengan orang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruang tidurnya. Ia suruh saya duduk di tempat tidur. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mempelajari sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari ngomong,


"Denok, angkat kepalamu, tonton saya." Saya nurut. Kemungkinan ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," ujarnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, lihat uang itu. Besar sekali untuk saya. Rata-rata sepanjang hari menari saya tidak pernah mendapat uang sejumlah itu. Tetapi saya selalu sangsi. Juragan mendadak pengin ambil kembali uang itu.


"Kalaupun tak mau ya telah," tukasnya dengan suara kurang suka.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Sesuai tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, serta saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum menyaksikan saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Buat orang gairah ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar selesai bicara itu. sumpah, baru kesempatan ini ada laki laki jujur ngaku begitu.


Helai uang lima puluh ribu tadi diletakkan Juragan di samping saya ia mengambil, lipat, lalu ia berikan ke… aduh! Ia sisipkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," ucapnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awal mulanya saya serta Simbok harus menari sepanjang hari, hingga pegal-pegal, buat mendapat uang kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya memperoleh uang sejumlah itu … kok ringan sekali?


"Betulan buat saya…?" Masih tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka seluruhnya," kata Juragan sembari menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa artinya itu? Apa Juragan sukai dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang ngomong itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih ditahan tangan saya, serta kainnya melesat demikian saja tanpa saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya bisa memperoleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka pun kain batik coklat yang saya gunakan.


Kemungkinan sebab barusan saya malu serta pelan satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya dan membuka kain batik saya. Saya seketika mundur, tetapi tangan Juragan selanjutnya menggenggam bahu saya.


"Tidak boleh takut, Denok…" ujarnya.


Juragan pun menggenggam paha saya yang sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Nada "Eihh" keluar mulut saya, malu karena sentuhan Juragan. Tangannya selanjutnya nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bergesekan dengan kulit paha saya, dan saya kian deg-degan. Ia selalu remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada beberapa macam dari mulut saya. Tangan satunya terus nyibak kain saya, hingga ke dekat pinggang… Duh, biyung, sedang diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga paha saya telah dikeluarkan dari balutnya, sedikit kembali kancut saya tampak!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya terus nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa semestinya saya lepas pun?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sekalian saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, namun tidak tahu mengapa, saya pula kok merasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok berikut ini jadi? Juragan tiada henti memandang sekujur badan saya, sekalian beri pujian.


"Marilah donk, tidak perlu tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, bila kamu pengin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan ditempatkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya nampak.


"Euh… Juragan… pengin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama